Perspektif Islam terhadap Pemanfaatan Energi Terbarukan

Mahasiswa Institut Teknologi PLN

11/8/20254 min read

Dalam ajaran Islam, pengelolaan segala nikmat Allah—termasuk energi—diatur oleh prinsip keseimbangan, tanggung jawab, dan larangan berlebih-lebihan. Israf, yang bermakna sikap berlebihan, boros, atau tidak proporsional dalam menggunakan sesuatu, menjadi konsep kunci dalam etika konsumsi Islam. Larangan ini tidak hanya menyentuh aspek ibadah atau konsumsi makanan, tetapi mencakup seluruh dimensi kehidupan, termasuk cara manusia memproduksi dan menggunakan energi di era modern ketika kebutuhan energi meningkat dan dampak lingkungan kian terasa. Karena itu, prinsip anti-israf relevan dijadikan landasan etis bagi pemanfaatan energi terbarukan dan pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan.​

Landasan Qur’ani Etika Konsumsi dan Energi

Al-Qur’an menegaskan bahwa pemborosan adalah perbuatan yang tidak disukai Allah dan bertentangan dengan sikap moderat yang diperintahkan. Dalam QS Al-A’raf ayat 31 Allah berfirman: “Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”. Ayat ini menunjukkan bahwa segala bentuk israf—baik pada makanan, minuman, harta, maupun sumber daya lainnya—merusak prinsip keseimbangan dan mengisyaratkan kurangnya rasa syukur terhadap nikmat Allah.​

Dalam QS Al-Isra’ ayat 27, para pemboros digambarkan sebagai saudara-saudara setan, menunjukkan betapa tercelanya gaya hidup yang boros dan konsumtif. Karakter ini bukan hanya berdampak spiritual, tetapi juga sosial dan ekologis, karena mendorong perilaku yang merusak kelestarian alam dan menimbulkan ketimpangan dalam pemanfaatan sumber daya. Dengan demikian, etika konsumsi dalam Islam terkait langsung dengan cara manusia menggunakan energi dan mengelola lingkungan.​

Israf dan Tantangan Energi Kontemporer

Dalam konteks modern, konsumsi energi sering dilakukan tanpa pertimbangan keberlanjutan dan keadilan antargenerasi. Penggunaan listrik yang berlebihan, ketergantungan yang kuat pada bahan bakar fosil, dan lemahnya budaya hemat energi telah berkontribusi pada peningkatan emisi, polusi udara, serta percepatan perubahan iklim. Padahal, Islam memposisikan manusia sebagai khalifah di bumi yang berkewajiban menjaga dan mengelola alam secara bijak, bukan mengeksploitasinya secara serakah.​

Menghindari israf dalam konteks energi berarti menggunakan energi secukupnya, menghindari pemborosan, dan menekan praktik yang semakin memperparah kerusakan lingkungan. Sikap ini sejalan dengan upaya menjaga keberkahan nikmat Allah, melestarikan alam, dan memenuhi tanggung jawab terhadap generasi yang akan datang. Dengan demikian, etika energi dalam Islam tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab ekologis dan sosial yang melekat pada peran manusia sebagai khalifah.​

Energi Terbarukan sebagai Implementasi Nilai Islam

Pemanfaatan energi terbarukan—seperti tenaga surya, angin, air, biomassa, dan panas bumi—dapat dipandang sebagai wujud konkret penerapan nilai-nilai Islam dalam bidang energi. Sumber-sumber energi ini relatif ramah lingkungan, mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan menekan emisi gas rumah kaca, sehingga berkontribusi pada pelestarian bumi. Hal ini sejalan dengan larangan fasād (kerusakan) di bumi dan perintah untuk menjaga keseimbangan (mīzān) dalam tatanan ciptaan Allah.​

Upaya efisiensi energi—seperti penggunaan peralatan hemat listrik, mematikan lampu dan perangkat elektronik saat tidak diperlukan, mengurangi penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil, atau beralih pada transportasi yang lebih bersih—merupakan bagian dari pengamalan prinsip anti-israf. Islam menuntut agar setiap penggunaan nikmat Allah membawa manfaat dan tidak menimbulkan mudarat, baik bagi manusia maupun lingkungan, sehingga pola konsumsi energi yang hemat dan bersih menjadi bagian dari akhlak seorang Muslim.​

Etika Konsumsi, Pembangunan Berkelanjutan, dan Energi

Nilai-nilai Islam sangat selaras dengan gagasan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menekankan keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Prinsip moderasi (wasathiyah), mīzān, serta larangan merusak bumi setelah Allah memperbaikinya menggambarkan bahwa pembangunan ideal menurut Islam adalah pembangunan yang tidak mengorbankan kelestarian alam dan hak generasi mendatang. Dalam kerangka ini, transisi menuju energi terbarukan merupakan langkah strategis untuk mewujudkan pembangunan yang adil dan berkelanjutan.​

Menjauhi israf dalam penggunaan energi berarti turut menjaga keberlangsungan sumber daya dan kualitas lingkungan bagi generasi berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mengatur hubungan vertikal antara manusia dan Allah, tetapi juga memberikan pedoman etis yang komprehensif terkait hubungan manusia dengan sesama dan dengan alam. Dengan demikian, pemanfaatan energi terbarukan dapat dibaca sebagai praktik nyata dari etika konsumsi dan tanggung jawab ekologis dalam Islam.​

Pendalaman Makna Israf dalam Kerangka Energi

Secara bahasa, israf berasal dari kata asrafa yang berarti melampaui batas kewajaran atau melakukan sesuatu secara berlebihan. Para ulama menafsirkan israf sebagai perilaku berlebihan dalam berbagai aspek, mulai dari makanan, harta, hingga pola konsumsi lainnya, termasuk penggunaan sumber daya alam. Al-Qur’an berulang kali menegaskan larangan israf, salah satunya dalam QS Al-A’raf ayat 31, yang menunjukkan bahwa pemborosan mencerminkan kurangnya rasa syukur dan hilangnya harmoni dalam memanfaatkan nikmat Allah.​

Konsep israf berkaitan erat dengan amanah manusia sebagai khalifah di bumi, yang dituntut untuk mengelola sumber daya dengan arif, proporsional, dan berkeadilan. Penggunaan energi secara berlebihan—seperti menyalakan peralatan listrik tanpa kebutuhan, konsumsi bahan bakar fosil yang tidak perlu, atau mengejar kenyamanan dengan mengabaikan dampak ekologis—dapat dinilai sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip keseimbangan tersebut. Sebaliknya, langkah-langkah penghematan energi dan peralihan ke energi terbarukan merefleksikan upaya untuk kembali pada pola hidup yang sederhana, seimbang, dan bertanggung jawab.​

Kesimpulan: Energi Terbarukan sebagai Amanah dan Ibadah

Israf atau pemborosan merupakan perilaku yang tegas dilarang dalam Islam dan berlaku pada semua bentuk pemanfaatan nikmat Allah, termasuk energi. Beralih ke energi terbarukan dan menerapkan efisiensi energi adalah bentuk pengamalan nyata nilai anti-israf sekaligus kontribusi langsung terhadap penjagaan lingkungan dan keadilan antargenerasi. Langkah-langkah praktis seperti menghemat listrik, menggunakan teknologi ramah lingkungan, dan memanfaatkan sumber energi bersih mencerminkan tanggung jawab seorang Muslim sebagai penjaga bumi.​

Dengan demikian, pemanfaatan energi terbarukan bukan sekadar isu teknis atau ekonomi, tetapi juga bagian dari penghayatan ajaran Islam tentang hidup hemat, tidak berlebihan, dan menjaga kelestarian alam sebagai bagian dari ibadah dan amanah ilahiah. Perspektif Islam terhadap energi terbarukan menempatkan transisi energi bersih sebagai wujud nyata syukur, tanggung jawab, dan komitmen menjaga bumi sebagai titipan Allah bagi seluruh makhluk.